Thursday 9 September 2010

UNTUK SESUATU YANG HILANG

Pintu dari kayu triplek itu berderit ketika seorang klimis dan necis membukanya. Sebetulnya ia sudah hati-hati ketika membuka pintu kamar yang tidak pernah dikunci oleh penghuninya . tapi berderit juga. Di dalam kamar banyak kertas berserakan dan seorang lelaki kurus meringkuk kelelahan disebuah dipan butut.

Gilang memperhatikan wajah cekung dan lelah itu. Padahal ketika pertama gilang mengenalnya ,tidak memprihatinkan seperti ini. Lelaki kurus ini sedang menderita suatu penyakit. Tapi entah apa, karena jika gilang menanyakan ,lelaki itu tidak pernah membicarakannya. Tampaknya ia ingin menyimpan dan menelan penderitaannya sendiri. Betapa beragam persoalan memancar dari wajah kerasnya.

Gilang lalu memperhatikan saja kertas-kertas berserakan disebelah mesin tik. Sementara dibawah meja kulit-kulit kacang dimana-mana. Juga gelas kopi yang tinggal ampasnya tergeletak begitu saja diatas meja. Dia membuka jendela kamar lebar-lebar dan udara kamar terasa lebih segar sekarang.

Lelaki kurus itu masih saja meringkuk.

“masih tidur, jar?” gilang menyentuh pundak lelaki itu.

Kepala berambut gondrong dan kusut itu bergerak. Terangkat. Sepasang mata yang lelah kurang tidur terbuka menyipit. Lalu matanya diusap-usap dengan punggung jari-jarinya.

“Sudah pagi lagi rupanya, lang?” begitu selalu katanya sambil menguap. Dia bangkit dan meluruskan kedua kakinya.

Gilang selalu tersenyum mendengarnya.

“sudah jam sembilan.” Katanya, “kuliah, enggak? Gue lagi enggak ada kuliah nih!” gilang menuju jendela. Memandang keluar . matahari dimusim penghujan memang jarang sekali kelihatan. Wajar saja kalau banyak orang yang tambah lelap tidak memperdulikan waktu, batinnya.

“kalau elu enggak ada kuliah juga ,kita keluar kota yuk!” ajak gilang.

Fajar bangkit sempoyongan menyambar handuk yang menggantung disandaran kursi.

“gue mandi dulu.” Katanya sambil berharap semoga tidak perlu mengantri.

Ditempat kostnya ini cuma ada satu kamar mandi dengan sepuluh orang lelaki yang suka bangun seenaknya ,sehingga setiap jam sibuk pasti mereka teriak-teriak minta giliran lebih dulu. Nyatanya fajar memang harus antri. Dia berteriak dan menggedor pintu kamar mandi. Yang di dalam malah tertawa menyalahkan ,kenapa selalu bangun kesiangan.

Fajar menyender ditembok. Ya ,kenapa aku selalu bangun lebih siang dari yang lain, sehingga gilang suka ikut-ikutan kesiangan pergi ke kampus? Padahal gilang bisa saja dari rumah langsung ke kampus dengan mobil sedan mulusnya. Tapi gilang hampir setiap hari menjemput dan selalu sabar membangunkan atau menunggui fajar mandi.

Awalnya fajar bisa kenal dengan gilang secara kebetulan saja. Ketika usai kuliah sastra modern ,di pelataran parkir dia melihat kunci mobil. Dipungut dan diperiksanya isi dompet itu. Dia meneliti setiap nomor mobil yang diparkir. Dibanding-bandingkan dengan es te en ka di dalam dompet. Ketika matanya tertumbuk pada sebuah sedan warna biru malam ,dia tersenyum. Apalagi tidak jauh dari situ dia melihat sekelompok lelaki elit sedang memelototi setiap jengkal pelataran parkir. Mereka mencari-cari sesuatu sambil tertawa-tertwa. Fajar menonton saja dibawah pohon angsana sambil memperhatikan seseorang yang lebih serius dan menggerutu terus.

Ketika mereka mulai bosan mencari dan meninggalkan si serius yang malang ,fajar tersenyum-senyum menghampiri. Kunci mobil diputar-putarkannya.
Si serius melotot geram. “jadi lu udah sejak tadi nemuin kunci mobil gue?” katanya kesal.

“ya!”

“ah sialan lu!”

“Sekarang ,lu mesti jadi supir gue!” fajar tertawa menyebutkan sebuah kantor redaksi majalah. “hitung-hitung bonus buat gue yang nemuin kunci mobil lu!” katanya sambil melemparkan kunci mobil.

Si serius itu, gilang ,menangkap kunci mobil dan menatap dewa penolongnya dengan beragam perasaan. “kenapa baru elu kasiin sekarang, heh?!” hatinya rada jengkel juga ketika membuka pintu mobil, kerena tahu sejak tadi dewa penolongnya menonton dibawah pohon.

Fajar tertawa dan masuk ke dalam mobil. “gue cuma kepingin nonton ,bagaimana orang macam elu mempertanggungjawabkan sesuatu yang berharga yang dimilikinya!” katanya ringan.

Gilang mengerutkan keningnya. Kalimat yang menusuk buatnya. “ini mobil babe. Gue dikasiih kepercayaan dan mesti mempertanggungjawabkan kepercayaan itu.” Belanya tidak enak.

“itu yang gue maksud! Babe lu ngasih lu mobil. Bisa enggak lu ngejaga dan ngerawat pemberian babe lu. Pasti babe lu ngeluarin keringat dan darah buat ngebeli mobil ini!”

Gilang melirik lelaki jantan bertampang seniman itu.

Fajar tersenyum memandang gedung-gedung bertingkat. Baginya .memiliki benda-benda mewah adalah diluar batas kesadarannya. Jangankan memiliki ,memimpikannya saja dia tidak sanggup. Sekarang saja ,dia hanya bisa hidup dengan mengandalkan honor-honor tulisannya. Dia memang mesti pandai mengatur dan mengekang keinginannya. Yang terpenting baginya adalah tidak menunggak uang kuliah dan sewa kamar.

“ngapain ke redaksi?” Tanya gilang ingin tahu.

“ngambil honor! Cerita gue dimuat lagi!”

Gilang kini tertawa. “elu tukang ngekhayal rupanya!”

“enggak selalu.” Fajar meringis.

Setelah dari redaksi, gilang mengajak fajar makan siang dirumah makan ala barat. Tapi fajar keberatan. Gilang terus memaksa dengan alasan merayakan perkenalan mereka.

“gue nggak biasa makan ditempat kayak gitu.” Sederhana sekali alasan fajar. “perut gue terbiasa dengan warung tegal!” fajar tertawa getir.

Gilang memperhatikannya, hatinya tersentuh juga ketika mendengar pengakuan dari sobat barunya tadi. Lantas dia jadi malu sendiri, karena baginya makan di rumah makan ala barat seperti keluar masuk rumah saja. Bukan lagi sekedar gengsi atau symbol status ,tapi sudah menjadi kebutuhan.

“gimana kalau gue yang ngebossin lu makan diwarteg?” fajar menawarkan sambil tersenyum lucu.

Makan diwaretg? Gilang menggigit bibirnya. Lalu terbayanglah sebuah tempat yang kotor, bau keringat dan lalat-lalat. Apalagi perutnya agak-agak sensitive. Buru-buru gilang menggeleng. “nggak deh.”

Fajar tersenyum lagi. “oke kita ambil jalan tengah saja. Elu makan ditempat yang lu suka dan gue juga makan ditempat yang gue suka.”

Gilang menggumam tidak percaya. Dia baru sekali ini ketemu orang yang kayak begini. Ketika gilang memarkir mobil, dia memperhatikan sobat barunya yang aneh. “elu serius ,jar?” tanyanya.

Fajar mengangguk pasti dan keluar dari mobil.

“gue makan disana!” fajar menunjuk warung-warung yang berjejer di pinggir jalan. Dia berlari manyebrangi jalan.

Gilang memandangnya terus. Dengan berat hati dia melangkah masuk ke rumah makan ala barat langganannya. Akhirnya mereka merayakan perkenalan mereka ditempat kesukaan mereka sendiri-sendiri. Ketika makan, gilang dan fajar sibuk dengan fikiran masih-masing.

Gilang mambayangkan wajah seorang lelaki yang menghadapi hidup dengan penuh perjuangan. Dunia lelaki itu berbeda denganku. Secara materi semua yang ada padanya bertolak belakang, batin gilang terus. Dan fajar tentu kebalikannya. Biarkan saja begitu. Manusia sudah ditakdirkan hidup pada porsinya masing-masing oleh tuhan.

Setelah makan, gilang mengantar fajar ke tempat kostnya. Malah gilang turun menyusuri lorong-lorong ketika fajar mengundang untuk mampir. Setelah berada di kamar berdinding triplek yang dipenuhi grafiti dan poster-poster grup band rock, gilang nyeletuk “kok nggak ada mesin tik atau computer?”

Fajar tertawa sambil membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Katanya sambil tersenyum,”semuanya gue tulis tangan!”

Hah?! Gilang betul-betul tidak percaya.

“benda yang elu sebut tadi sangat langka dipondokan ini. Kawan-kawan sekost pun, kalau perlu banget buat bikin laporan ,pasti locat sana-sini nebeng ngetik. Yang punya duit ya ke rental computer. Kepercayaan untuk zaman sekarang udah mahal harganya, guy!” fajar berfilsafat sedikit.

Gilang duduk dibibir jendela. Dia mendengarkan dengan serius.

“tapi, gue punya tulisan tangan yang bagus! Buktinya cerita-cerita gue selalu dimuat!” fajar tertawa keras.

Setelah pertemuan itu, mereka jadi sering bertemu ditempat parkir. Bahkan pada kesempatan lain, fajar menolong gilang ketika dikeroyok gara-gara perempuan. Tiga orang yang mengeroyok gilang ternyata dibuat keder oleh kepalan dan tendangan fajar.

“elu jago silat juga rupanya!” gilang mesti berhutang budi sekali lagi kepada seniman aneh ini. Di dalam hati gilang ,lelaki aneh ini semakin menyenangkan saja.

“elu mesti jadi supir gue lagi sekarang!” fajar tertawa. Gilang mengangguk senang.
Setelah itu mereka jadi semakin akrab ,tapi tetap tidak pernah bisa disatukan kalau soal kebiasaan. Mungkin dalam selera music rock saja mereka bisa akur. Kadangkala kalau lagi jenuh, mereka suka teriak-teriak di dalam mobil. Tapi ada yang membuat fajar suka bukan kepalang ,jika sewaktu-waktu gilang mengundang makan malam dirumahnya. Fajar antusias sekali . ia begitu menikmati suasana makan malam di meja makan. Apalagi jika seluruh keluarga gilang komplit hadir.

“gue iri ngeliat elu bahagia sama keluarga, lang.” begitu selalu kata fajar setelah makan malam.

Gilang cuma bisa merangkul bahunya.

Beberapa hari setelah itu ,gilang seperti biasa datang menjemput fajar. Kali ini gilang menjinjing mesin tik. Di rumahnya mesin tik hanyalah sebuah benda seperti benda-benda pelengkap lainnya, yang kadang dilirik pun tidak. Teronggok begitu saja digudang. Malah lebih berharga bonsai-bonsai di teras rumah atau barang-barang antik di ruang tamu. Computer memang sudah menjadi mainan seisi rumahnya.

Mulanya fajar menganggap uluran tangan gilang berlebihan. Tapi setelah difikir matang-matang ada baiknya juga. Bukankah dengan mesin tik itu ,persoalan kawan-kawan sekostnya jika mengetik laporan bisa terpecahkan? Apalagi kalau ada yang harus lembur bikin makalah, kan nggak perlu berantem sama penjaga rental computer yang udah ngantuk abis dan ngusirin mereka suruh pulang.

Hanya ada yang masih membuat penasaran gilang tentang fajar, sobat yang sudah setahun dikenalnya. Yaitu tentang kondisi tubuhnya yang saban hari menyusut terus dan latar belakang hidupnya. Siapa orang tua fajar? Dimana keluarganya? Jika saja gilang menyinggung masalah itu, si seniman aneh itu pasti akan memandang nya dengan tajam ,memperingatkan untuk tidak membicarkan hal yang satu itu. Gilang hari ini pun tampaknya masih penasaran. Dia masih akan menanyakan pada fajar, walaupun dengan resiko dipelototi.

Dari tadi gilang hanya duduk-duduk dibibir jendela ,melihat lorong-lorong yang sesak dengan rumah kumuh penduduk.

Fajar tidak pernah bercerita tentang pacar ataupun cewek sekalipun. Tidak seperti gilang, yang senag bercerita tentang pacar-pacarnya yang senangnya hura-hura melulu. Sebentar-sebentar minta diantar ke pesta si anu, ke situlah ,ke sinilah…. Atau menghabiskan malam minggu ditempat-tempat jajan dan bioskop mahal.

Fajar nongol. Rambutnya yang gondrong basah habis keramas. Dadanya telanjang. Tampak rada segaran.

“udah dari tadi lu ,lang?” dia lalu mengenakan jeans robek dan kaos oblong putihnya. “eh naskah ini gak di bacakan?” fajar memasukan tumpukan kertas diatas meja kedalam map.

“naskah ini pasti bakalan bikin surprise buat kita. Naskah ini mau gue ikutin sayembara. Kalau menang ,gue gak butuh lagi mesin tik elu, lang!” fajar tertawa.

“oh ,ya?!” gilang melompat dari duduknya. Dia membatin ,paling-paling cerita tragis lagi. Tentang kematian lagi. Setiap gilang membaca cerita-cerita fajar di majalah ,kebanyakan isinya tentang seseorang yang sedang menghadapi maut karena menderita penyakit ganas; kanker misalnya,atau tumor, jantung, bahkan leukemia!
Pagi itu gilang berencana mengajak fajar pergi ke puncak, ke villa orang tuanya. “sekalian buat cari inspirasi.” Bujuk gilang.

Tanpa berfikir panjang fajar langsung mengiyakan.

Dua manusia yang ditakdirkan lahir berbeda kutub itu sudah duduk-duduk di kap mobil. Mereka sedang mengunyah jagung bakar dikawasan puncak. Keindahan pohon-pohon teh yang hijau membuat paru-paru mereka lapang. Sesekali mereka berbincang tentang nasib si penjual jagung, yang sudah bertahun-tahun membakar jagung-jagung itu ,tapi tetap saja masih begitu. Betapa sederhana pola hidup si penjual jagung itu. Kalau saja dia dibekali ilmu ekonomi ,mungkin sekarang sudah tidak perlu kedinginan membakar jagung-jagung jualannya di pinggir jalan, begitu pikir mereka.

“gue mau cerita banyak sama elu ,lang.” fajar membuang batang jagungnya. “elu dengerin ya! Mungkin nggak akan pernah gue ulangi lagi cerita ini.” Fajar serius sekali bicaranya.

Gilang memperhatikan raut muka fajar.

“kamu….,” kini fajar tidak bergue-gue lagi.

Bicaranya mulai teratur. “kamu belum tahu banyak tentang saya ya ,lang?”

Gilang mengangguk, “kamu yang melarang saya untuk tahu.” Gilang mengingatkan.

Fajar meringis. “kamu siap mendengarkan sekarang, lang?”

Gilang mengangguk.

“oke ,inilah cerita saya ,lang….”

Nama saya fajar, tapi tidak pernah bisa menikmati menyembulnya fajar ,yang kata orang sangat indah. Kadangkala saya benci dengan orang yang memberi nama ‘fajar’. Saya tidak tahu entah siapa yang memberi nama itu. Yang saya tahu hanya, bayi mungil itu tergeletak di depan rumah yatim piatu disaat fajar menyembul. Lantas para pengurus panti sepakat memberi nama bayi itu ‘fajar’. Mereka punya keinginan ,bahwa suatu hari nanti bayi itu bisa merubah dunia. Memberi cahaya terang pada orang-orang. Padahal bayi mungil itu orang kebanyakan juga.

Saya benci dengan nama fajar. Seharusnya nama itu diberiakan pada bayi-bayi mungil yang punya orang tua kompllit dan bahagia. Bukankah fajar adalah pertanda dimulainya hari lain? Denyut lain?

Tapi saya…. Fajar? Lelaki yang suka bersembunyi di kegelapan dan bangun kesiangan, hanya karena semalaman kurang tidur setelah membuat cerita-cerita?! Saya lebih cocok sebagai penyebar kegelapan dan selalu marah pada sekeliling. Marah terhadap wajah-wajah bertopeng.

Lantas ,siapa orang tua saya?! Berkali-kali saya tanyakan pada pengurus panti, tapi mereka hanya bercerita tentang bayi mungil di saat fajar itu! Sepasang manusia yang sedang dimabuk asmarakah? Yang belum sanggup mengurus bayi,sehingga bayi mungil itu mereka letakkan di muka pintu panti asuhan?

Saya capek hidup. Capek memikirkan semua itu. Saya tidak tahu untuk siapa menjalani hidup ini. Saya tidak punya kebanggaan dan tidak ada yang membangga-banggakan. Seharusnya, mungkin ,saya tidak kabur dari panti asuhan dulu. Seharusnya saya diam saja sampai mati disana. Berkumpul dengan kawan-kawan senasib ,yang setiap malam selalu bermimpi punya segala yang diidamkan. Keluarga yang bahagia, harta melimpah ,juga kehormatan. Atau diadopsi oleh pasangan kaya-raya.

Pernah mimpi menjadi orang seperti saya? Oh, lebih baik jangan . lebih baik tidak pernah bermimpi ketika tidur. Lebih baik tidur nyenyak saja dan bangun disaat fajar menyembul.

Besok saya mau mencoba bangun lebih pagi, agar bisa menikmati menyembulnya fajar. Kalau begitu sebaiknya nanti malam saya tidak mengetik cerita. Saya akan lebih cepat tidur. Ya,saya ingin merasakan tidur nyenyak tanpa ditemani mimpi . ya,saya ingin tidur nyenyak,agar besok bisa bangun lebih pagi dan menikmati fajar.



Gilang sejak tadi duduk didipan yang sepreinya tidak pernah beres itu. Dinding triplek penuh grafiti itu kini seperti menghimpitnya.

Gilang berjalan ke jendela. Matanya masih merah . dia menangis tadi. Dia menengadah ke langit. Dia betu-betul tidak percaya kalau kemarin sore, di puncak ,adalah percakapannya yang terakhir dengan fajar. Kalau saja gilang lebih teliti kemarin sore, betapa sangat pucat wajah fajar ketika bercerita tentang hidupnya.

Fajar ternyata tidak pernah bisa menikmati fajar. Padahal pagi-pagi sekali gilang sengaja mengetuk pintu fajar, ingin membuktikan apakah betul fajar sudah menikmati fajar. Tapi ternyata fajar masih saja berbaring dikasur. Tidur nyenyak dan tidak pernah bisa bangun lagi.

Kini dimata gilang, langit seperti berwarna hitam.

Fajar baru beberapa saat dikebumikan. Tanpa iringan sanak saudara. Hanya gilang dan teman-temannya. Walau begitu semua merasa langit sedang runtuh dan menghimpit.

Menurut diagnose dokter, fajar terlalu banyak menelan penderitaan batinnya sendiri, sehingga kanker menggerogoti! Gilang juga tidak habis mengerti bagaimana fajar bisa bertahan sekian tahun melawan penderitaan kankernya! Gilang bisa maklum kalau fajar tidak pernah menceritakan pada siapapun tentang sakitnya, karena takut merepotkan. Untuk berobat sendiri tentu akan kewalahan, karena ongkosnya bisa mencekik.

Kenapa kalau ingin tidur nyenyak saja mesti dengan cara menderita seperti itu ,fajar? Gilang mengusap matanya.

Setelah kematian fajar ,gilang mengambil beberapa naskah fajar yang belum jadi dan mesin tik ,juga beberapa buah buku sastra dan album foto. Lalu kamar suram berdinding triplek penuh grafiti itu mereka kubur dalam-dalam. Mereka bakar seluruh kenangan tentang kamar itu.

Tiba-tiba saja muncul keinginan gilang untuk menjadi seorang pengarang seperti fajar, setelah membaca seluruh naskah fajar yang belum jadi. Gilang ingin melanjutkan segala kemarahan dan kejengkelan fajar terhadap sekelilingnya dengan kata-kata,dengan kalimat. Tapi satu cerita pun tidak pernah bisa gilang selesaikan karena dia tidak punya kemarahan dan kejengkelan yang di punyai fajar. Setiap gilang memulai dengan halaman pertama, wajah fajar selalu melintas dan menyuruhnya untuk berhenti melanjutkan cerita-ceritanya.

Di hari lain ,ketika dia sedang duduk merenung di teras, ada pak pos. kini ditangan gilang ada sebuah surat panggilan dari sebuah majalah ternama. Gilang tahu persis apa isi surat itu. Buru-buru dirobeknya sampul surat . dibacanya. Seluruh tubuhnya bergetar.

Gilang menangis.

Ternyata fajar memenangkan sayembara mengarang. Dia mendapatkan sebuah computer.