Ketika
Sampai di Titik Nol
Berkali-kali
ku lihat kearah jarum jam yang ada ditanganku. Berkali-kali ku lihat bergantian
jam dan dosen didepan yang sedang bercuap-cuap menerangkan. “Lama bener sih nih
dosen, kita udeh telat kantor nih fa!” bisikku kearah Raffa yang terlihat
sedang asyik mendengarkan sang dosen idamannya. “Hahaha. Udeh, santai aja
kenapa sih fahmaaa!” jawab Raffa sambil senyum-senyum sendiri memandang kearah
sang dosen.
Sambil
ngedumel sendiri aku habiskan sisa waktu dikelas untuk mencoret-coret binder
noteku dengan kesal. Aduuuuuuuuuuuuh!
Lama banget sih nih kelas bubar!. Dengan setengah kesal, ku beranikan diri
untuk maju kearah sang dosen dan meminta izin untuk meninggalkan kelas sekarang
juga. “Sorry sir, saya hari ini ada meeting dikantor sangat mendesak dan mengharuskan
saya pergi sekarang. Jadi, bolehkah saya…”. Dengan pandangan ingin tahu dia
melihat kearahku dan dengan gagap dia menjawab “Ya, ya.. Boleh silahkan. Maaf,
nama kamu siapa?”. “Okay thanks sir, saya Fahma” Sambil berbalik kearah pintu
kelas.
Dari
belakang Raffa berlari-lari kecil menyusul langkahku. Dalam diam kita masuk
kedalam mobil. Raffa mulai menyalakan mesin mobil dan mulai bercerita tentang
sang dosen idamannya lagi. Tiba-tiba mataku merasa sangat mengantuk dan mulai
terpejam.
Mama, ketika aku duduk di Taman
Kanak-kanak dulu banyak teman-teman bicara bahwa aku ini berbeda. Ketika
anak-anak seumuranku diantar sekolah dengan ayah dan ibunya. Hanya aku yang
berjalan kaki sendiri dari sebuah perpustakaan usang ditengah kota Jakarta ini,
hanya aku yang selalu membawa sebungkus nasi uduk untuk bekal makan siang, dan
hanya aku yang terlihat tak pernah dijemput oleh seseorang yang harusnya ku
panggil dengan sebutan “Mama”. Mama, ketika aku mulai dewasa. Aku mulai
mengerti apa yang mereka katakan itu benar adanya. Aku berbeda, aku tak pernah
melihatmu atau ayah. Aku tak pernah tahu siapa kamu dan seperti apa kamu. Satu
yang aku tahu dari Nek’ Lina orang yang selama ini menjadi penggantimu mama.
Suatu hari 20 tahun yang lalu, ada seorang bayi dititipkan didepan pintu
perpustakaan usang miliknya. Dengan dibungkus kain berwarna merah muda, dengan
pipi berwarna merah dan kulit berwarna putih bersih. Disampingnya ada sepotong
kertas bertuliskan satu nama “Fahma Anissa”.
Sinar
matahari masuk menerobos kaca mobil, membangunkanku dari tidur singkatku.
Dengan sedikit berlari-lari kecil aku dan Raffa memasuki loby kantor, pikiranku
masih pada mimpi singkatku tadi. Beberapa orang menyapaku, hanya bisa ku balas
dengan senyuman dan kata “Hai!”. Tiba di ruanganku dengan terengah-engah
kuedarkan pandanganku disekitar ruangan. Sepi. Meetingnya sudah selesai, faktor
telat nih huuuuh! Tak sengaja kulihat diatas meja ada sepucuk surat dengan
amplop berwarna merah maroon cantik dengan setangkai mawar merah segar. Dengan
ragu-ragu kuraih surat itu dan ku baca isinya.
Dear Fahma Anissa, Café La Tanza
pukul 12.00 sudah ku pesan tempat. tolong datang ada yang ingin ku bicarakan. -Iqbal-
Iqbal? Siapa dia pun aku tak tahu.
Tersenyum agak geli aku mencium bunga mawar yang juga sudah pasti dari orang
bernama Iqbal ini. Bagaimana bisa orang yang tak ku kenal mengirimi surat
kedalam kantorku, beserta sepucuk bunga mawar merah segar? Aneh. Raffa bisa tertawa
terbahak-bahak nih kalau ku ceritakan tentang ini. Tapi, aku pun penasaran
siapa Iqbal ini. Sambil mengulang isi surat tersebut dalam hati Café La Tanza pukul 12.00, Iqbal.
Agak susah meyakinkan Raffa untuk tidak ikut makan siang
diluar karena ada keperluan mendesak dengan salah satu kolega. Sepanjang
perjalanan menuju café aku terus-terusan mencoba mengingat-ingat apakah aku pernah
punya teman lama bernama Iqbal atau memang tidak. Yasudahlah pikirku, toh
sebentar lagi aku akan bertemu dengan orang itu. Masuk kedalam café siang ini
agak ramai juga kelihatannya. “Meja atas nama Iqbal nomor berapa ya mbak?”
tanyaku kepada salah seorang pelayan café. “Nomor 10 mbak, dekat aquarium
dipojok sana” sambil menunjuk kearah pojok café.
Sampai di meja nomor 10. Sepi. Mungkin belum sampai,
pikirku dalam hati. Ku keluarkan laptopku dari tas, sambil menunggu orang
bernama Iqbal ini ku habiskan waktu dengan memesan cup ice cream cokelat khas
café ini, dan membuka salah satu jaringan social milikku.
Sekitar 5 menit menunggu akhirnya ku lihat seorang
laki-laki berjalan mengarah ketempat dudukku. Dan kini dia telah sampai didepan
mejaku, terkejut bukan kepalang! Iqbal ini adalah dosen yang membuatku telat
untuk meeting pagi ini. Ku sambut dia dengan senyum simpulku.
Dalam hati ku berteriak-teriak sendiri. Iqbal itu anda?!
Orang itu anda?! Jleb!
“Hei
fahma, kita bertemu kembali. Sudah pesan makanan?”
Aku
hanya menjawab dengan gelengan kecil. Dia membalas dengan senyuman. Lalu segera
memanggil pelayan untuk membawakan daftar makanan.
“Jadi,
kenapa kamu mengajakku makan siang disini pak?”
“Hei,
jangan panggil dengan sebutan pak dong ini bukan dikampus lho! Lagipula saya
dengan kamu hanya berjarak 3 tahun saja. Jadi, panggil saya dengan Iqbal saja
ya. Saya ingin mengenal kamu saja, namamu bagus Fahma Anissa. Terdengar indah”
“Oh
iya aku coba, cuma aku sedikit bingung. Sepertinya kamu sudah banyak tau
tentangku. Dari mulai kantor, surat, bunga, usia? Dan….”
“Hemmm,
fahma tolong jangan kamu berfikiran yang macam-macam ya. Saya ingin mengenal
kamu lebih dekat saja, saya ingin kamu menjadi teman saya juga”
Selanjutnya
kita mulai berbincang-bincang kecil tentang tragedy meeting pagi tadi yang
membuatnya meminta maaf atas kejadian tersebut. Kita mulai bercanda-bercanda
renyah dan mulai akrab.
Ku
perhatikan sejenak orang yang berada dihadapanku ini. Sosok laki-laki dewasa
yang tampan dan sholeh. Berpenampilan rapih dan bersih. Dan sosok orang yang
humoris dibalik wajah kalem yang dimilikinya. Baru saja beberapa menit
mengobrol dengannya sudah seperti teman akrab yang sudah dapat bercanda dan
tertawa-tertawa renyah. Aku tersenyum simpul ketika dia meminta pendapatku
tentang pembawaan mengajarnya pada saat dikelas. Awal perkenalan yang baik, pikirku dalam hati.
Setelah hari itu aku dan Iqbal semakin dekat dan terlihat
semakin akrab. Suatu hari dia mengajakku ke sebuah kawasan kumuh dipinggiran
kota. Dia mengajakku berkenalan dengan seorang ibu separuh baya bernama Rahma.
Iqbal mulai bercerita bahwa dia seperti
memiliki keluarga baru ketika berada disini, bermula dari kejadian kecil
dipinggiran jalan. Ada seorang preman yang mencoba merampok dirinya, namun
dengan bantuan dari anak-anak kawasan kumuh itu preman tersebut enggan merampok
dirinya. Lalu, dibawalah dia kesini. Kawasan kumuh tak berbentuk, sampah dan
bau amis serta peluh tercium disetiap sudut dari tempat ini. Dan ibu Rahma ini
telah seperti ibunya sendiri, Iqbal pun tak dapat menjelaskan mengapa tempat
ini seperti memanggilnya untuk pulang setiap kali mengingat ibu Rahma dan
beberapa anak kecil yang haus akan kasih sayang.
Ibu Rahma sosok ibu yang pendiam namun sangat perhatian.
Dia tinggal seorang diri di Jakarta namun ia enggan berbagi semua tentang
keluarganya. Raut wajah ibu Rahma seperti merasakan kesepian bertahun-tahun
lamanya. Aku juga tak mengerti mengapa aku juga merasakan hal yang sama seperti
Iqbal rasakan. Aku juga merasa sangat kenal dengan ibu Rahma ini, semuanya. Ya
semuanya! Mulai dari senyumnya, tawanya, dan hangat peluknya. Aku jadi berpikir
kembali tentang masa lalu, dimana teman-teman sebayaku mengejek-ejekku karena
aku tak memiliki seorang ibu. Aku jadi mengingat-ingat ketika aku mulai dewasa
dan mulai mencari dimana ibuku dan tak pernah membawaku kearah terang. Selalu
saja yang aku dapatkan hanya bayang-bayang dirinya, yang entah ada dimana.
Semakin lama hubungan antara aku dan Iqbal semakin dekat
dan akrab. Entah mengapa aku merasakan kenyamanan ketika sedang berada
disisinya. Tak terasa sudah lebih dari enam bulan aku dan Iqbal saling mengenal.
Dan ketika semua yang kita berdua jalani selama itu, Iqbal menyampaikan maksud
hatinya kepadaku. Dia menjelaskan bagaimana perasaannya sebenarnya kepadaku.
“Mencari seorang wanita dewasa yang siap menemaniku menjalani
sebagian dari sisa hidupku itu sulit ma, aku harus berkali-kali sakit hati
dengan pilihanku sendiri. Dan saat melihat kamu, mainsetku sudah bermain lebih
sensitif aku takut semua itu terulang kembali. Jadi, ku tutupi perasaanku
sesaat untuk mengenalmu lebih dekat. Dan, sekarang kamu telah mengenalku lebih
dari satu semester. Kamu sudah dapat melihat dan menilai seperti apa
kepribadianku dan bagaimana watakku. Kita sama-sama sudah dewasa, aku tahu
banyak tentang bagaimana rasa kecewa. Jadi, kalau kamu keberatan atas tawaranku
untuk kita mulai ta’aruf. Aku tak kan melarangmu untuk itu ma, hanya saja kalau
kamu sudah memiliki calon pendamping hidup akulah yang paling siap menikahimu.
Sekalipun besok kau menintaku untuk menikahimu.”
Saat itu aku hanya dapat tertunduk
malu. Dan ku beranikan diri untuk menatap laki-laki di hadapanku ini, dan mulai
tersenyum kearahnya. Detik berikutnya aku kembali tertunduk malu, sambil
menyembunyikan senyum. Sedangkan Iqbal tak henti-hentinya mengucap syukur.
Suatu hari seusai makan siang bersama Raffa, aku melihat
kerumunan orang tumpah ruas kanan sebuah jalan. Raffa dan aku turun dari mobil
dan bertanya kepada orang yang lewat didekat kerumunan, ternyata ada korban
tabrak lari. Dengan segera aku dan Raffa jalan mendekati dan mencoba menerobos
kerumunan, saat berada tepat dipinggir terlihat seorang ibu tergeletak diam
dengan luka disekujur tubuhnya. Tak terasa cairan bening berjatuhan melihat ibu
itu ternyata adalah ibu Rahma, segera kuminta orang-orang disekitar kerumunan
untuk membantu menaikan ibu Rahma kedalam mobil. Aku dan Raffa pun langsung
bergegas menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan aku menjelaskan
bagaimana aku mengenal ibu ini kepada
Raffa yang masih terlihat bingung.
Dalam bingung aku mengetuk-ngetuk jariku penuh khawatir
diatas pintu unit gawat darurat. Tak lama Iqbal datang dengan tergesah-gesah
dan aku pun menyambutnya dengan isak. Raffa agak kaget setelah aku menjelaskan
hubunganku dengan Iqbal , namun ia sahabat yang baik ia mendoakan apapun yang
terbaik untukku. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya dokter keluar dan
menghampiri aku, Iqbal, dan Raffa. Dokter menjelaskan bahwa ibu Rahma
kehilangan banyak darah dan harus segera mendapatkan donor yang pas dengan
golongan darah ibu Rahma. “Golongan darah ibu Rahma O, mungkin diantara kalian
ada…” . “golongan darah saya O dokter, jadi ambil darah saya saja” potongku.
Saat
itu aku tak tahu bahwa yang aku selamatkan adalah ibuku. Ketika masuk kedalam
ruangan mataku basah melihatmu terbaring lesu. Wajahmu menguatkan aku. Saat itu
aku masih tak tau kalau yang sedang terbaring adalah ibuku. Saat darahku
mengalir didalam ragamu, dan jatuh menjadi penyembuh. Cinta yang membuat aku
merasa kaulah ibuku.
Seminggu
setelah itu, Raffa menangis dan berlari kearahku. Kampus sudah terlihat sepi
sore itu, aku pun sudah bergegas untuk pulang. Raffa masih terisak didalam
senyumnya, ia mencoba mengeluarkan kata-kata namun terdengar berat dan sulit.
Ku keluarkan air mineral dari dalam tasku dan ku berikan kepadanya, Raffa
tersenyum sejenak dan langsung meminumnya. Raffa sudah agak tenang, dan dia pun
mulai bercerita.
“
Gue dan Iqbal sudah mengidentifikasi siapa sebenarnya ibu Rahma ma, dan kamu
tau apa? Ibu Rahma itu adalah ibu biologismu, dia ibu kandungmu!”.
Degup
jantungku mengeras, aku bisa rasakan setiap detaknya. Tak tau mengapa tapi aku
merasa senang mendengar berita ini, walaupun aku tak tau pasti ini benar atau
tidak.
“Aku
mendengar sendiri ibu Rahma menceritakan masa lalunya. Ia seorang anak
perempuan yang tumbuh ditengah keluarga yang sibuk, ibu dan ayahnya tak pernah
memerhatikan pergaulannya. Hingga pada akhirnya, ia berpacaran dengan salah
satu temannya dan bercumbu bersamanya. Dan sampai pada akhirnya ia harus keluar
dari rumahnya dan hidup dijalanan sampai dapat melahirkanmu. Ia menjelaskan
bahwa ia menitipkan bayinya disebuah perpustakaan dan bayi itu ia beri nama
Fahma Anissa”.
Tak
terbendung lagi air mataku, aku terisak hebat dan mengucap syukur berkali-kali.
Iqbal mengantarkan aku dan Raffa kerumah ibu Rahma, sepanjang perjalanan yang
aku pikirkan hanyalah. Mama, entah
seberapa lama kita terpisah. Akhirnya aku menemukanmu.
Ketika
sampai didepan rumah, ibu Rahma langsung memelukku erat. Air mata pun sudah tak
terbendung lagi. Mama, ketika untuk
pertama kalinya aku merasa hidup kembali setelah lama mati. Mama, mendekapmu
adalah anugerah yang tak pernah ku miliki selama ini. Tak henti-hentinya, aku
mengucap syukur. Mama, ketika kita hanyut didalam sujud syukur yang panjang ini
tahu kah kau apa yang aku pikirkan? Aku berdo’a, dan meminta kepada Dzat yang
maha kuasa agar berikan kita banyak waktu untuk terus seperti ini.
Mama, aku hanya ingin kau tau dan
merasakannya juga. Ketika saat itu darahku mengalir didalam ragamu, itu menjadi
titik nol sebuah kehidupan untukku. Mama, ketika aku melihatmu tertawa walaupun
kala itu aku tak tau kaulah ibuku, aku hanya tersenyum dan berdo’a semoga sosok
ibu hadir didalam hidupku. Mama, ketika aku menemukan laki-laki yang ku percaya
dan bertanggung jawab untuk bisa menjadi imamku kelak, tau kah kamu apa yang
aku pikirkan? Aku ingin mendengar restu darimu ya! Hanya itu. Mama, ketika kini
aku menemukanmu, aku bersyukur bisa berada dipelukmu. Aku bersyukur aku masih dapat
rasakan cium hangatmu, dan aku bersyukur dapat jalani sisa dari hidupku
bersamamu.
“Bunda, you al
my eveliting” celoteh seorang anak laki-laki kepadaku. Aku tersenyum dan
menghela nafas panjang, sambil mendekap anak laki-laki itu dengan hangat. Tak
terasa butiran-butiran bening membasahi pelupuk mataku, melihat anak laki-laki
itu bermain bola didekatnya. Memerhatikan kelucuan tingkah lakunya. Iqbal
memelukku dari belakang dengan hangat, mencium keningku dan berbisik “Sayang,
ketika kamu bertanya kepadaku. Harus seperti orang tua seperti apakah dirimu,
aku bangga kamu menemukan pertanyaan seperti itu. Dan jawabanku hanya satu,
kamu hanya perlu menjadi seperti ibumu. “
Mama, kini aku mengerti benar bagaimana perasaanmu
ketika memutuskan menitipkanku disebuah perpustakaan usang kala itu. Ketika
dunia seperti memuntahkanmu dari perut bumi. Mama, kini aku mengerti bagaimana
rasa sakitmu ketika memutuskan untuk menitipkanku kala itu. Mama, kau berikan
aku pelajaran yang paling berharga tentang bagaimana menjadi perempuan yang
kuat. Dan mama, mungkin kini sudah waktuku untuk menjadi seorang ibu. Terima
kasih mama, bagaimana kau bertahan itu menjadi titik nol untukku memulai
kehidupan.