Saturday 29 December 2012

Yanda, Kini Aku Seorang Penegak

Dinda, masih ingatkah kamu dahulu itu
Bernyanyi, tertawa bersama di lapangan dekat sawah belakang sekolah

Dinda, kala itu mungkin kau tak mengerti apa arti dari seorang Siaga
Dinda, teringat benar kau dan kawan-kawan berlari, mengejar jangkrik
untuk sama-sama Kita lepaskan kembali..

Dinda, saat itu kau lahir menjadi pemimpin barung
Dinda arahkan teman-teman berbaris,
Dinda bunyikan pluit dan arahkan teman-teman berjalan mengikuti Yanda
Dinda, alangkah bangga Yanda padamu saat itu nak..

Dinda, waktu berlalu benar begitu cepat
Yanda tak menolak ketika kau meminta dilantik menjadi seorang Penggalang

Saat itu Yanda mulai mengajarimu teknik kepramukaan
Yanda ajarkan kepadamu apa itu leadershp, dengan harapan yang satu
kelak kau tumbuh menjadi pemimpin nak..
Tahukah kamu Dinda? Yanda senang melihat semangatmu dan teman-teman saat itu

Dinda, masih teringat jelas wajahmu
ketika kau menolak memanggil Yanda dengan sebutan "Kakak"
Yanda tersenyum menanggapi celotehanmu saat itu

Adinda, tiada yang melebihi rasa bangga Yanda kepadamu
ketika kau benar-benar tumbuh menjadi Pramuka yang tangguh

Kau selesaikan masa Penggalangmu dengan cemerlang
Kau tahu benar bagaimana bahagianya Yanda ketika kau berkata
"Aku bangga menjadi seorang Pramuka"

Adinda, Yanda tanamkan benar kepadamu apa itu pribadi Pramuka
Yanda ingin Dinda kelak jadi cermin pribadi Dasa Dharma
Yanda ingin kau tumbuh menjadi Pramuka yang matang
dengan semua semangat yang Adinda punya sebagai peserta didik
dengan segala tawa dan tangis yang Dinda dan teman-teman lewati..

Adinda, waktu telah cukup berarti mengantarkan Yanda melihat kau tumbuh
dari seorang Siaga, Penggalang, hingga kini akhirnya kau lahir menjadi seorang Penegak

Adinda, kini kau dan teman-teman adalah seorang Penegak
akhirnya Dinda dan teman-teman wujudkan celoteh-celoteh kalian semasa jadi sang Galang

Kalian tampak tangguh dengan beremblem baret dan rimba kuning
Adinda tampak gagah dengan TKU Bantara menopang dikedua bahumu
Dinda dan kawan-kawan tampak siap menjadi tenaga pembangun masyarakat
seperti apa yang dituangkan dalam Tri Satya

Tiada yang membuat Yanda bangga
ketika Yanda melihat Adinda dilantik sebagai Pradana Putri
Tiada yang membuat Yanda bangga ketika Yanda menyaksikan
Adinda mengucap ulang janji, memegang merah-putih dan menaruhnya didadamu tepat dijantungmu
Tiada yang membuat Yanda bangga ketika Yanda memakaikan TKU Bantara itu dibahumu nak..

Kini kau seorang Penegak, Dinda..
Tunjukkanlah Pramuka Pribadi Bangsa..
Adinda, kini kau seorang Penegak nak..
dan tiada yang membuat Yanda bangga ketika melihat
Dinda menangis dan berkata
"Yanda, kini aku seorang Penegak"

Thursday 27 December 2012

MY LONG HOLIDAY ^O^

Okay, berhubung liburan kali ini adalah liburan terakhir gue sebagai seorang murid berseragam abu-abu hehe
gue mau share semua yang gue lakuin pas liburan kali ini di blog gue ini. tulisannya simpel aja ya;)
lagi malas bertemu di EYD, tanda baca, analisis isi, and bla bla bla he he he
liburan gue hmmmm diawali dengan ini nih haha tradisi korps.
 Kegiatan Pelantikan Bantara & Laksana 2013 di Cisarua - Bogor (22&23 Desember 2012)

Yang ini Laksana 2012, angkatan VI (formasi gak lengkap)







Adinda Rani Eka H. ( Pokdo Putri )


Kak Abdi (Pembina) , Bunda, Abang Adrian, Dek Balin :)






Bantara+Laksana 2012 kasih materi Leadership nih :)





Balik lagi ke jakarta nih guys, hari jum'at 28 Desember 2012
kumpul bareng Laksana 2012 Ambalan Satya Wira Wicaksana Angkatan VI di DK 27 masih dalam kondisi
gak lengkap sih. Ngegosipnya cuma ber-5an aja tanpa Faqih yang biasanya bareng-bareng kita juga :)
ada Rani, Aul, Alin, Harun, dan gue. Sementara harusnya ada Faqih, Pepi, Indra, Mamai, sama Teday.
NAAAAH INI DIAAA SNAPSHOTNYA GUYS!!!













4 Januari 2013. Gagal bermalam tahun baruan bareng Laksana dan SWC gue cuma nonton film dirumah seharian haha kebayang gak tuh bete banget guys! udah-udah ah gak mau bahas itu, jadi males wkwk. Hari ini mau hangout bareng temen-temen SD udah lamaaaaa banget gak ketemu. Rencananya mau nonton doang, tapi haha ya biasa deh cewek-cewek. So, alhasil kita nonton film "Habibie dan Ainun" di Blitz Megaplex, Bekasi Cyber Park, terus makan plus ngegosip, dan yang pasti foto boooooox!!! thanks guys! you're rooooock!!!

Ini di basement lhoooo haha nakal yaaa ;)
Aku kenalin ya dari yang paling kiri itu ada Bella, Lidya, Kiki, Fajriatul






















 Oke, belum puas foto-fotonya kita foto boooox juga, haha sudah jadi tradisi kalau ngumpul pasti foto box itu gak ketinggalan ;)











Sunday 16 December 2012

Mama, Ade Mau Pakai Jilbab



Mama, Ade Mau Pakai Jilbab
            Aku tersenyum sendiri melihat bayangan diriku didepan cermin. Subhanallah, cantiknya aku dibalut jilbab panjang berwarna hijau lengkap dengan busana senada. Ku perhatikan setiap lekuk dan lipatan dari jilbab yang ku kenakan, aku tersenyum sendiri dan mulai tenggelam mengenang masalalu. Tenggelam bersama cerita aku dan jilbab pertamaku dahulu.
            Saat itu aku baru menjadi siswi Sekolah Menengah Atas. Dan saat itu aku tahu, aku sedang ditengah ambang kehancuran. Saat itu aku memiliki seorang pacar yang lima tahun jauh lebih tua dariku. Lima bulan sudah aku menjalani sebuah hubungan dengannya, aku mempercayainya dengan luar biasa, aku mulai mengenal keluarganya dan begitupun dia sebaliknya. Kami menganggap apa yang kami jalani ini benar adanya, ya layaknya kaula muda pada umumnya. Aku mempercayai laki-laki itu sepenuh hati dan kini aku tahu itu sebuah kesalahan besar yang aku lakukan.
            Ku pandangi kembali jilbab hijau yang tergantung manis menutupi kepalaku sampai ka dadaku. Ku perhatikan sosok perempuan yang ada di cermin dan aku tersenyum manis kepada cermin dihadapanku. Ya Allah, maka nikmatmu yang manakah yang patut aku dustakan.
            Aku mulai menerawang kembali ke masalalu. Saat itu yang aku tahu hanya bagaimana rasa cintaku kepada laki-laki itu, dan ketika aku semakin mencintainya dia meninggalkan aku. Dia pergi dan tak pernah berfikir untuk kembali. Aku merasa bumi telah memuntahkan aku, aku merasa sangat kehilangan. Bahkan, aku nyaris saja berfikir untuk mengakhiri hidupku saat itu. Sungguh bodohnya aku.
            Teman-teman silih berganti menghiburku. Tapi aku seperti tak lagi hidup, aku hidup namun mati. Yang ada hanya rasa cintaku yang meluap-luap kepada laki-laki itu. Berhari-hari ku hidup dalam tekanan masalalu. Aku menahan tangis tiap kali ku ingat apa yang telah aku dan laki-laki itu lakukan, kami berpelukan mesra, kami berpegangan tangan. Entah berapa banyak dosa yang telah aku perbuat.
            Seiring waktu berjalan, Anjar. Seorang sahabatku mulali prihatin dengan keadaanku yang terus larut dalam kesedihan dan tak kunjung membaik. Di suatu siang disekolah dia mengajakku shalat dzuhur saat itu aku hanya mengangguk dalam diam. Ku temukan damai dihatiku ketika ku nikmati benar saat air wudhu mulai membasahi lengan, wajah, dan kepalaku. Ku resapi benar setiap takbir, setiap ruku’, dan setiapp sujudku. Diakhir shalat aku menangis sejadi-jadinya, aku luapkan penyesalanku, aku ungkapkan semua dalam do’a panjangku. Saat itu aku lihat Anjar turut menangis mendekapku dan mengelus punggungku seakan dia tahu seberat apa masalah yang sedang aku pikul saat itu.
            Aku tersenyum ceria kembali dan mulai menata hidup. Allah s.w.t sayang denganku Ia ingatkan aku tentang bagaimana Islam mengajarkan hubungan antara lawan jenis yang bukan mahromnya. Setiba dirumah ku peluk erat ibunda, aku ciumi pipinya dan juga tangannya. Aku memohon ampunan dan belas kasihannya. Mama tersenyum kepadaku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Aku bertanya kepada nya, tentang Islam mengajarkan anak perempuan menjaga dirinya dan menutupi kepala sampai dengan dadanya dengan jilbab. Mama mulai menjelaskan dan aku pun dengan seksama mendengarkan. Setiba diakhir penjelasannya aku menangis haru memeluk mama. Dan satu kalimat terakhir yang aku ucapkan kepadanya saat itu, “ Mama, ade mau pakai jilbab ma. Ade ingin menjaga kehormatan ade seperti mama menjaga ade”.  Kulihat ada butiran bening dipelupuk mata mama saat mendengar aku meminta. Mama mengangguk dan memelukku erat.
            Aku tersenyum mengingat masalaluku. Aku ingat salah seorang sahabat berkata kepadaku bahwa “Hijab itu kewajiban, bukan pilihan kita sebagai seorang muslim” dan aku tahu rabb-ku telah merencanakan hal yang indah untukku dan akhwat yang lainnya sebagai reward ketangguhan iman seorang muslim yang menjaga kehormatannya. Dan aku tersenyum kembali kepada cermin dihadapanku, aku berbisik padanya “Islam itu indah”.

Bekasi, 14 Agustus 2012



Namaku Trieas Maya Ade Putri, siswi kelas 3 disebuah SMK Negeri diJakarta. Aku tinggal di Harapan Jaya, Bekasi Utara, Jawa Barat. Sudah lama aku suka menulis namun mungkin baru bisa sekarang aku merealisasikan keinginanku untuk serius menulis. Tulisan ini aku persembahkan untuk mama, Ranna Nur Raffa dan Lia Aulia yang setia selalu mendukungku, dan setia dengan supportnya serta keikhlasannya menemani proses menulis cerpen ini. Kritik dan saran bisa kalian berikan melalui Emailku: trieasmayaadeputri@yahoo.com atau melalui jaringan social facebook: Trieas Maya Ade Putri.
 



Ketika Sampai di Titik Nol



Ketika Sampai di Titik Nol
Berkali-kali ku lihat kearah jarum jam yang ada ditanganku. Berkali-kali ku lihat bergantian jam dan dosen didepan yang sedang bercuap-cuap menerangkan. “Lama bener sih nih dosen, kita udeh telat kantor nih fa!” bisikku kearah Raffa yang terlihat sedang asyik mendengarkan sang dosen idamannya. “Hahaha. Udeh, santai aja kenapa sih fahmaaa!” jawab Raffa sambil senyum-senyum sendiri memandang kearah sang dosen.
Sambil ngedumel sendiri aku habiskan sisa waktu dikelas untuk mencoret-coret binder noteku dengan kesal. Aduuuuuuuuuuuuh! Lama banget sih nih kelas bubar!. Dengan setengah kesal, ku beranikan diri untuk maju kearah sang dosen dan meminta izin untuk meninggalkan kelas sekarang juga. “Sorry sir, saya hari ini ada meeting dikantor sangat mendesak dan mengharuskan saya pergi sekarang. Jadi, bolehkah saya…”. Dengan pandangan ingin tahu dia melihat kearahku dan dengan gagap dia menjawab “Ya, ya.. Boleh silahkan. Maaf, nama kamu siapa?”. “Okay thanks sir, saya Fahma” Sambil berbalik kearah pintu kelas.
Dari belakang Raffa berlari-lari kecil menyusul langkahku. Dalam diam kita masuk kedalam mobil. Raffa mulai menyalakan mesin mobil dan mulai bercerita tentang sang dosen idamannya lagi. Tiba-tiba mataku merasa sangat mengantuk dan mulai terpejam.
Mama, ketika aku duduk di Taman Kanak-kanak dulu banyak teman-teman bicara bahwa aku ini berbeda. Ketika anak-anak seumuranku diantar sekolah dengan ayah dan ibunya. Hanya aku yang berjalan kaki sendiri dari sebuah perpustakaan usang ditengah kota Jakarta ini, hanya aku yang selalu membawa sebungkus nasi uduk untuk bekal makan siang, dan hanya aku yang terlihat tak pernah dijemput oleh seseorang yang harusnya ku panggil dengan sebutan “Mama”. Mama, ketika aku mulai dewasa. Aku mulai mengerti apa yang mereka katakan itu benar adanya. Aku berbeda, aku tak pernah melihatmu atau ayah. Aku tak pernah tahu siapa kamu dan seperti apa kamu. Satu yang aku tahu dari Nek’ Lina orang yang selama ini menjadi penggantimu mama. Suatu hari 20 tahun yang lalu, ada seorang bayi dititipkan didepan pintu perpustakaan usang miliknya. Dengan dibungkus kain berwarna merah muda, dengan pipi berwarna merah dan kulit berwarna putih bersih. Disampingnya ada sepotong kertas bertuliskan satu nama “Fahma Anissa”.


Sinar matahari masuk menerobos kaca mobil, membangunkanku dari tidur singkatku. Dengan sedikit berlari-lari kecil aku dan Raffa memasuki loby kantor, pikiranku masih pada mimpi singkatku tadi. Beberapa orang menyapaku, hanya bisa ku balas dengan senyuman dan kata “Hai!”. Tiba di ruanganku dengan terengah-engah kuedarkan pandanganku disekitar ruangan. Sepi. Meetingnya sudah selesai, faktor telat nih huuuuh! Tak sengaja kulihat diatas meja ada sepucuk surat dengan amplop berwarna merah maroon cantik dengan setangkai mawar merah segar. Dengan ragu-ragu kuraih surat itu dan ku baca isinya.
Dear Fahma Anissa, Café La Tanza pukul 12.00 sudah ku pesan tempat. tolong datang ada yang ingin ku bicarakan. -Iqbal-
            Iqbal? Siapa dia pun aku tak tahu. Tersenyum agak geli aku mencium bunga mawar yang juga sudah pasti dari orang bernama Iqbal ini. Bagaimana bisa orang yang tak ku kenal mengirimi surat kedalam kantorku, beserta sepucuk bunga mawar merah segar? Aneh. Raffa bisa tertawa terbahak-bahak nih kalau ku ceritakan tentang ini. Tapi, aku pun penasaran siapa Iqbal ini. Sambil mengulang isi surat tersebut dalam hati Café La Tanza pukul 12.00, Iqbal.


            Agak susah meyakinkan Raffa untuk tidak ikut makan siang diluar karena ada keperluan mendesak dengan salah satu kolega. Sepanjang perjalanan menuju café aku terus-terusan mencoba mengingat-ingat apakah aku pernah punya teman lama bernama Iqbal atau memang tidak. Yasudahlah pikirku, toh sebentar lagi aku akan bertemu dengan orang itu. Masuk kedalam café siang ini agak ramai juga kelihatannya. “Meja atas nama Iqbal nomor berapa ya mbak?” tanyaku kepada salah seorang pelayan café. “Nomor 10 mbak, dekat aquarium dipojok sana” sambil menunjuk kearah pojok café.
            Sampai di meja nomor 10. Sepi. Mungkin belum sampai, pikirku dalam hati. Ku keluarkan laptopku dari tas, sambil menunggu orang bernama Iqbal ini ku habiskan waktu dengan memesan cup ice cream cokelat khas café ini, dan membuka salah satu jaringan social milikku.
            Sekitar 5 menit menunggu akhirnya ku lihat seorang laki-laki berjalan mengarah ketempat dudukku. Dan kini dia telah sampai didepan mejaku, terkejut bukan kepalang! Iqbal ini adalah dosen yang membuatku telat untuk meeting pagi ini. Ku sambut dia dengan senyum simpulku.
            Dalam hati ku berteriak-teriak sendiri. Iqbal itu anda?! Orang itu anda?! Jleb!
“Hei fahma, kita bertemu kembali. Sudah pesan makanan?”
Aku hanya menjawab dengan gelengan kecil. Dia membalas dengan senyuman. Lalu segera memanggil pelayan untuk membawakan daftar makanan.
“Jadi, kenapa kamu mengajakku makan siang disini pak?”
“Hei, jangan panggil dengan sebutan pak dong ini bukan dikampus lho! Lagipula saya dengan kamu hanya berjarak 3 tahun saja. Jadi, panggil saya dengan Iqbal saja ya. Saya ingin mengenal kamu saja, namamu bagus Fahma Anissa. Terdengar indah”
“Oh iya aku coba, cuma aku sedikit bingung. Sepertinya kamu sudah banyak tau tentangku. Dari mulai kantor, surat, bunga, usia? Dan….”
“Hemmm, fahma tolong jangan kamu berfikiran yang macam-macam ya. Saya ingin mengenal kamu lebih dekat saja, saya ingin kamu menjadi teman saya juga”
Selanjutnya kita mulai berbincang-bincang kecil tentang tragedy meeting pagi tadi yang membuatnya meminta maaf atas kejadian tersebut. Kita mulai bercanda-bercanda renyah dan mulai akrab.
Ku perhatikan sejenak orang yang berada dihadapanku ini. Sosok laki-laki dewasa yang tampan dan sholeh. Berpenampilan rapih dan bersih. Dan sosok orang yang humoris dibalik wajah kalem yang dimilikinya. Baru saja beberapa menit mengobrol dengannya sudah seperti teman akrab yang sudah dapat bercanda dan tertawa-tertawa renyah. Aku tersenyum simpul ketika dia meminta pendapatku tentang pembawaan mengajarnya pada saat dikelas. Awal perkenalan yang baik, pikirku dalam hati.


            Setelah hari itu aku dan Iqbal semakin dekat dan terlihat semakin akrab. Suatu hari dia mengajakku ke sebuah kawasan kumuh dipinggiran kota. Dia mengajakku berkenalan dengan seorang ibu separuh baya bernama Rahma. Iqbal mulai bercerita bahwa dia seperti  memiliki keluarga baru ketika berada disini, bermula dari kejadian kecil dipinggiran jalan. Ada seorang preman yang mencoba merampok dirinya, namun dengan bantuan dari anak-anak kawasan kumuh itu preman tersebut enggan merampok dirinya. Lalu, dibawalah dia kesini. Kawasan kumuh tak berbentuk, sampah dan bau amis serta peluh tercium disetiap sudut dari tempat ini. Dan ibu Rahma ini telah seperti ibunya sendiri, Iqbal pun tak dapat menjelaskan mengapa tempat ini seperti memanggilnya untuk pulang setiap kali mengingat ibu Rahma dan beberapa anak kecil yang haus akan kasih sayang.
            Ibu Rahma sosok ibu yang pendiam namun sangat perhatian. Dia tinggal seorang diri di Jakarta namun ia enggan berbagi semua tentang keluarganya. Raut wajah ibu Rahma seperti merasakan kesepian bertahun-tahun lamanya. Aku juga tak mengerti mengapa aku juga merasakan hal yang sama seperti Iqbal rasakan. Aku juga merasa sangat kenal dengan ibu Rahma ini, semuanya. Ya semuanya! Mulai dari senyumnya, tawanya, dan hangat peluknya. Aku jadi berpikir kembali tentang masa lalu, dimana teman-teman sebayaku mengejek-ejekku karena aku tak memiliki seorang ibu. Aku jadi mengingat-ingat ketika aku mulai dewasa dan mulai mencari dimana ibuku dan tak pernah membawaku kearah terang. Selalu saja yang aku dapatkan hanya bayang-bayang dirinya, yang entah ada dimana.


            Semakin lama hubungan antara aku dan Iqbal semakin dekat dan akrab. Entah mengapa aku merasakan kenyamanan ketika sedang berada disisinya. Tak terasa sudah lebih dari enam bulan aku dan Iqbal saling mengenal. Dan ketika semua yang kita berdua jalani selama itu, Iqbal menyampaikan maksud hatinya kepadaku. Dia menjelaskan bagaimana perasaannya sebenarnya kepadaku.
            “Mencari seorang wanita dewasa yang siap menemaniku menjalani sebagian dari sisa hidupku itu sulit ma, aku harus berkali-kali sakit hati dengan pilihanku sendiri. Dan saat melihat kamu, mainsetku sudah bermain lebih sensitif aku takut semua itu terulang kembali. Jadi, ku tutupi perasaanku sesaat untuk mengenalmu lebih dekat. Dan, sekarang kamu telah mengenalku lebih dari satu semester. Kamu sudah dapat melihat dan menilai seperti apa kepribadianku dan bagaimana watakku. Kita sama-sama sudah dewasa, aku tahu banyak tentang bagaimana rasa kecewa. Jadi, kalau kamu keberatan atas tawaranku untuk kita mulai ta’aruf. Aku tak kan melarangmu untuk itu ma, hanya saja kalau kamu sudah memiliki calon pendamping hidup akulah yang paling siap menikahimu. Sekalipun besok kau menintaku untuk menikahimu.”
            Saat itu aku hanya dapat tertunduk malu. Dan ku beranikan diri untuk menatap laki-laki di hadapanku ini, dan mulai tersenyum kearahnya. Detik berikutnya aku kembali tertunduk malu, sambil menyembunyikan senyum. Sedangkan Iqbal tak henti-hentinya mengucap syukur.


            Suatu hari seusai makan siang bersama Raffa, aku melihat kerumunan orang tumpah ruas kanan sebuah jalan. Raffa dan aku turun dari mobil dan bertanya kepada orang yang lewat didekat kerumunan, ternyata ada korban tabrak lari. Dengan segera aku dan Raffa jalan mendekati dan mencoba menerobos kerumunan, saat berada tepat dipinggir terlihat seorang ibu tergeletak diam dengan luka disekujur tubuhnya. Tak terasa cairan bening berjatuhan melihat ibu itu ternyata adalah ibu Rahma, segera kuminta orang-orang disekitar kerumunan untuk membantu menaikan ibu Rahma kedalam mobil. Aku dan Raffa pun langsung bergegas menuju rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan aku menjelaskan bagaimana aku mengenal ibu ini  kepada Raffa yang masih terlihat bingung.
            Dalam bingung aku mengetuk-ngetuk jariku penuh khawatir diatas pintu unit gawat darurat. Tak lama Iqbal datang dengan tergesah-gesah dan aku pun menyambutnya dengan isak. Raffa agak kaget setelah aku menjelaskan hubunganku dengan Iqbal , namun ia sahabat yang baik ia mendoakan apapun yang terbaik untukku. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya dokter keluar dan menghampiri aku, Iqbal, dan Raffa. Dokter menjelaskan bahwa ibu Rahma kehilangan banyak darah dan harus segera mendapatkan donor yang pas dengan golongan darah ibu Rahma. “Golongan darah ibu Rahma O, mungkin diantara kalian ada…” . “golongan darah saya O dokter, jadi ambil darah saya saja” potongku.
            Saat itu aku tak tahu bahwa yang aku selamatkan adalah ibuku. Ketika masuk kedalam ruangan mataku basah melihatmu terbaring lesu. Wajahmu menguatkan aku. Saat itu aku masih tak tau kalau yang sedang terbaring adalah ibuku. Saat darahku mengalir didalam ragamu, dan jatuh menjadi penyembuh. Cinta yang membuat aku merasa kaulah ibuku.


Seminggu setelah itu, Raffa menangis dan berlari kearahku. Kampus sudah terlihat sepi sore itu, aku pun sudah bergegas untuk pulang. Raffa masih terisak didalam senyumnya, ia mencoba mengeluarkan kata-kata namun terdengar berat dan sulit. Ku keluarkan air mineral dari dalam tasku dan ku berikan kepadanya, Raffa tersenyum sejenak dan langsung meminumnya. Raffa sudah agak tenang, dan dia pun mulai bercerita.
“ Gue dan Iqbal sudah mengidentifikasi siapa sebenarnya ibu Rahma ma, dan kamu tau apa? Ibu Rahma itu adalah ibu biologismu, dia ibu kandungmu!”.
Degup jantungku mengeras, aku bisa rasakan setiap detaknya. Tak tau mengapa tapi aku merasa senang mendengar berita ini, walaupun aku tak tau pasti ini benar atau tidak.
“Aku mendengar sendiri ibu Rahma menceritakan masa lalunya. Ia seorang anak perempuan yang tumbuh ditengah keluarga yang sibuk, ibu dan ayahnya tak pernah memerhatikan pergaulannya. Hingga pada akhirnya, ia berpacaran dengan salah satu temannya dan bercumbu bersamanya. Dan sampai pada akhirnya ia harus keluar dari rumahnya dan hidup dijalanan sampai dapat melahirkanmu. Ia menjelaskan bahwa ia menitipkan bayinya disebuah perpustakaan dan bayi itu ia beri nama Fahma Anissa”.
Tak terbendung lagi air mataku, aku terisak hebat dan mengucap syukur berkali-kali. Iqbal mengantarkan aku dan Raffa kerumah ibu Rahma, sepanjang perjalanan yang aku pikirkan hanyalah. Mama, entah seberapa lama kita terpisah. Akhirnya aku menemukanmu.
Ketika sampai didepan rumah, ibu Rahma langsung memelukku erat. Air mata pun sudah tak terbendung lagi. Mama, ketika untuk pertama kalinya aku merasa hidup kembali setelah lama mati. Mama, mendekapmu adalah anugerah yang tak pernah ku miliki selama ini. Tak henti-hentinya, aku mengucap syukur. Mama, ketika kita hanyut didalam sujud syukur yang panjang ini tahu kah kau apa yang aku pikirkan? Aku berdo’a, dan meminta kepada Dzat yang maha kuasa agar berikan kita banyak waktu untuk terus seperti ini.
Mama, aku hanya ingin kau tau dan merasakannya juga. Ketika saat itu darahku mengalir didalam ragamu, itu menjadi titik nol sebuah kehidupan untukku. Mama, ketika aku melihatmu tertawa walaupun kala itu aku tak tau kaulah ibuku, aku hanya tersenyum dan berdo’a semoga sosok ibu hadir didalam hidupku. Mama, ketika aku menemukan laki-laki yang ku percaya dan bertanggung jawab untuk bisa menjadi imamku kelak, tau kah kamu apa yang aku pikirkan? Aku ingin mendengar restu darimu ya! Hanya itu. Mama, ketika kini aku menemukanmu, aku bersyukur bisa berada dipelukmu. Aku bersyukur aku masih dapat rasakan cium hangatmu, dan aku bersyukur dapat jalani sisa dari hidupku bersamamu.


“Bunda, you al my eveliting” celoteh seorang anak laki-laki kepadaku. Aku tersenyum dan menghela nafas panjang, sambil mendekap anak laki-laki itu dengan hangat. Tak terasa butiran-butiran bening membasahi pelupuk mataku, melihat anak laki-laki itu bermain bola didekatnya. Memerhatikan kelucuan tingkah lakunya. Iqbal memelukku dari belakang dengan hangat, mencium keningku dan berbisik “Sayang, ketika kamu bertanya kepadaku. Harus seperti orang tua seperti apakah dirimu, aku bangga kamu menemukan pertanyaan seperti itu. Dan jawabanku hanya satu, kamu hanya perlu menjadi seperti ibumu. “
Mama, kini aku mengerti benar bagaimana perasaanmu ketika memutuskan menitipkanku disebuah perpustakaan usang kala itu. Ketika dunia seperti memuntahkanmu dari perut bumi. Mama, kini aku mengerti bagaimana rasa sakitmu ketika memutuskan untuk menitipkanku kala itu. Mama, kau berikan aku pelajaran yang paling berharga tentang bagaimana menjadi perempuan yang kuat. Dan mama, mungkin kini sudah waktuku untuk menjadi seorang ibu. Terima kasih mama, bagaimana kau bertahan itu menjadi titik nol untukku memulai kehidupan.